“Jiwa seorang pelukis senantiasa mengembara dan mencari”
“Mencari semua yang tercecer dari ruang pikirnya, membaca dari ayat-ayat yang tersurat dan tersirat.
Petualangannya adalah pengalaman, penelusuran lorong-lorong dari ruang ke ruang, waktu ke waktu, penjelajahan ke dalam misteri alam raya, penangkapan fenomena-fenomena sudut-sudut kehidupan. Demikian pula dalam menjalani rutinitas yang menjenuhkan hingga sesuatu yang tak terduga, bagi seniman semua itu adalah moment yang siap menjadi inspirasi. Segala rasa yang ghaib, cinta kesedihan, kekecewaan, marah juga keagungan Sang Pencipta, merupakan tantangan untuk diolah dalam dasar nurani yang paling dalam hingga bangkitnya kesadaran yang sempurna.
Bentangan kanvas adalah samudra yang harus diselami kedalamannya. Dia akan berenang diantara tumpukkan masalah kehidupan yang kemudian disemburkannnya lagi sehingga menjadi jawaban.
Semilirnya angin, perihnya luka sang daun yang berguguran dalam kepasrahan, alunan ombak yang terus bergerak tepati janji, juga kesetiaan sang karang yang tak bosan menanti, sejuknya gunung, anggunnya penghuni dusun, ekspresi aneka wajah, semua itu adalah penggetar-penggetar nurani sang pelukis untuk bertindak dalam bahasa diam yang sarat menyimpan makna.
Setiap goresan adalah zikir yang menjembatani dari rasa eling pada sang jati diri. Setiap warna yang tercurah adalah introspeksi dan rasa syukur dengan ke imanan yang utuh.
Sang pelukis bukanlah hendak membanding-banding dari apa yang tercipta-Nya, karena seorang pelukis layaknya ranting kecil di tengah semak belukar.
Seorang pelukis akan terus menempuh perjalanannya, walau kerikil-kerikil tajam terus menghadang. Ia akan terus melaju dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab. Kepekaan rasanya akan terus diasah, hingga ia harus jujur pada dirinya sendiri.
Ia akan terus berjalan sampai usai cerita kehidupannya. Dengan memandang suatu sisi kemanusiaan, maka lumrah seorang pelukis berharap karyanya abadi dan namanya dikenang.
Rachman
Kopo, Okt 1997